Pada dasarnya tidak ada hubungan akademis antara ujian kuliah dan masalah garis-menggaris. Apalagi tukang dan ahli garis. Tukang belum tentu ahli, tapi kalau ahli tidak harus tukang. Antara ujian dan garis di mata pelajar hanya masalah fungsional. Garis-garis mempercantik ukiran-ukiran huruf diatas lembar jawab. Atau garis-garis menjadi trans-memori hafalan dari buku cetak menerobos pagar soal-pertanyaan hingga termuntahkan ketubannya berupa jawaban. Tidak se-pragmatis itu.
Tanpa garis se-renteng sarana-prasana ujian tidak beres; meja tidak siku-siku, bangku juga, kertas tidak simetris, pena tidak tegak, dan sebagainya … pada akhirnya hubungan garis dan ujian berupa simbiosis.
Masalahnya siapa yang lebih bermanfaat; tukang garis yang mampu membuat sejuta garis karena bantuan alat yang ia beli, ataukah ahli garis yang mampu menggaris tanpa penggaris bahkan ia mampu membuat penggaris hingga memodifikasi corak-corak garis? Ibarat diatas hanyalah konsepsi sederhana perbedaan antara pelajar ber-maklumat (pengetahuan) dengan ber-ilmu. keduanya adalah hal yang sama juga sekaligus berbeda. Ilmu, Pengetahuan. Tukang garis memiliki bertumpuk maklumat dan pengetahuan tentang garis. Ahli penggaris mempunyai alat dan metode segala yang berkaitan dengan garis dan problematikanya. Ia punya ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Ilmu bermakna pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Sedangkan pengetahuan bisa dimaknai sebagai segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, atau segala yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Sumbernya bermacam-macam. Namun ia belum tersusun secara sistematis untuk dapat menyelasaikan suatu persoalan tertentu. Hal ini senada dengan terminology bahasa Arab menyangkut keduanya. Sebagaimana yang dituliskan syeikh Mushtafa Ridlo al-Azhary; ilmu adalah metodologi dan alat, pengetahuan adalah hasil bacaan dari berbagai sumber. Ilmu merupakan metodologi yang terdiri atas kaidah-kaidah, disiplin-disiplin ilmu, serta ushul, sedangkan maklumat (pengetahuan) bukanlah demikian. Diriwayatkan sebuah dialog bersejarah antara Nafi’ bin al-Azraq –terkenal dengan luasnya pengetahuannya– dengan Ibn Abbas –yang masyhur dengan keilmuannya–. Ibn Abbas menafsirkan ayat
}وَتَـفَـقَّـدَ الطَيْرَ فَقَالَ مَالِي لَا أَرَى الهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الغَائِبِيْنَ{ ]النمل:20[
Bahwa burung hudhud merupakan hewan arsitek yang mampu membuat pertanda dari lubang-lubang di tanah guna mengetahui tanda-tanda musuh. Nafi’ menyela dan mengatakan bahwa anak kecil pun bisa mempermainkan lubang-lubang tersebut –pernyataan berasal dari maklumat–. Namun dengan metode keilmuan yang dimiliki Ibn Abbas, beliau mampu menjawabnya; seandainya lubang-lubang itu merendah berarti tingkat kewaspadaan menurun. Dr. Amru al-Wardany merumuskan metodologi ilmiah dalam sudut-pandang islam sebagai; pandangan menyeluruh berdasarkan beberapa prosedur yang harus ditempuh. Pandangan global berupa 5 maqashid syari’ah yang dipelajari dari syeikh atau guru dengan talaqqi. Kumpulan teori menurut pemikiran yang benar dengan pemahaman yang utuh. Susunan kaidah-kaidah didapat dari buku-buku masyhur dengan landasan analisa. Serta mengikuti acuan-acuan dan disiplin dengan konsistensi, komitmen sehingga mampu melakukan generalisasi dan penerapan terhadap ilmu. Ujian bisa menjadi katalisator antara maklumat (pengetahuan) dan ilmu.
Seorang pelajar yang membaca buku cetak hanya untuk menyelesaikan soal-soal ujian berarti ia pelajar pengetahuan, bukan ilmu. Garis-garis yang menandai point-point mata kuliah hanya akan bertahan sampai ‘diserap’ oleh soal ujian. Tidak ada alat perangkai yang bisa membawanya agar senantiasa bertahan selepas ujian. Lain halnya dengan pelajar yang membaca buku untuk menjadikannya alat pembangun keilmuan. Belajar ilmu hadits tentu memakai ilmu nahwu dan sorf. Menelaah tafsir tidak bisa lepas dari ilmu balagoh, hadits dan nahwu-sorf. Mendalami ilmu aqidah sangat memerlukan ilmu tafsir, hadits, mantiq serta filsafat. Saling menguatkan. Dan setiap ilmu memiliki sepuluh prinsip pengantarnya; defisini, objek, manfaat mempelajari, nisbat atau keterkaitannya dengan ilmu lain (proporsi), keutamaan, perintis atau penyusun pertama kali, nama, derivasi, hukum memperlajari, serta permasalahannya. Hal ini terumuskan oleh nadham bait berikut :
إن مبادي كل فن عشره # الحد والموضوع ثم الثمره ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا
Pelajar yang mampu menyebutkan sepuluh prinsip tersebut setelah ujian, bisa dikatakan ia adalah pelajar ilmu, bukan hanya pengetahuan. Berdasarkan konsep diatas, ujian bukanlah tujuannya menggaris kemudian selesai. Ia hanyalah garis yang kelak akan dimodifikasi dan digabungkan sehingga menjadi bangun datar keilmuan. Ujian bukanlah tujuan akhir seorang penuntut ilmu. Ia bukanlah titik. Ujian hanyalah koma yang harus terus dilengkapi sampai menuju titik. Titik ridlo Ilahi. Wallahu a`laa wa a`lam bi shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar