Selasa, 02 Agustus 2016

Ilmu ‘Waskita"

قال الله تعالى : "... وَأْتُوا البُيوْتَ مِنْ أَبوَابهَا ..." (البقرة:١٨٩)
Segala sesuatu memiliki pintu masuknya masing-masing, berbeda, sekaligus apa yang ada dibalik pintu tersebut. -Penulis-
Mahasiswa bilateral, sebagai seorang utusan, layaknya seorang sniper yang sedang menjalankan tugasnya. Seorang sniper tentu ia sudah memliki daftar sasaran dan target. Ia –kalau profesional– tentu mengetahui ilmu-ilmu menembak tepat sasaran -100%- atau “titis”; fisik, arah angin, situasi lingkungan, waktu, insting, dan sebagainya. Namun itu semua belumlah memenuhi persyaratan well-done-project bilamana target belum tertembak mati. Belum tuntas. Dan ternyata ia juga harus lolos dari serangan balik lawan. Tidak diketahui darimana asal suara tembakan, bahkan kalau bisa ‘seakan-akan’ misi yang sedang ia laksanakan dianggap oleh orang-orang sebagai sebuah ‘kecelakaan’. Iya, ia harus “waskita”. Bayangkan, jikalau ia gagal tepat sasaran! Apa-apa saja yang akan terjadi?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), titis bermakna dua; titik, dan peralihan dari satu tubuh ke yang lain atau menjelma. Namun yang dimaksudkan titis dalam tulisan ini bukanlah demikian. Sebenarnya istilah titis lebih tepatnya dinisbatkan ke bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia resmi berarti jitu –karena berkaitan dengan sasaran. Tapi kata “jitu” sendiri tidaklah sepenuhnya mewakili nuansa titis. Begitu pula waskita, secara KBBI artinya terang tiliknya, tajam penglihatan dan mata pandangnya. Pada dasarnya kata waskita merupakan ‘produk’ budaya Jawa. Waskita tidak hanya itu, ia bermakna lebih dari bijaksana. Namun sekali lagi tidak ada dalam bahasa Indonesia yang sanggup diamanahi makna ke-waskita-an sehingga pada akhirnya ia diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dan kali ini, kedua kata tersebut diasosiasikan ke dalam ilmu terapan.
Setelah mengetahui sekilas pengertian titis dan waskita, kedua ilmu tersebut tidak hanya diterapkan dalam dunia angkatan bersenjata. Ilmu-ilmu yang mengandung unsur akar dan cabang, atau usul dan furu`, atau variabel-variabel –dalam bahasa matematika– sangatlah memerlukan titis dan waskita dalam penerapannya. Kalau dalam lingkup militer titis itu tepat sasaran, dalam dunia akademis ia bisa berarti penerapan ilmu tepat pada konteksnya. Jika dalam dunia militer waskita itu tajam mata pandangnya –mampu meprediksi sangat baik apa yang akan terjadi, pada dimensi keilmuan ia bisa berarti sudut pandang yang sesuai objeknya.
Sebagai contoh kecil, ilmu usul fiqh, pada bab naskh dan bada’, masing-masing mempunyai cabang-cabangnya, variabel-variabelnya, konteks-konteksnya. Dua istilah itu juga tentu saja berbeda pengertiannya. Maka secara otomatis kita harus mengerti mana saja yang termasuk naskh-mansukh dan mana yang tergolong bab bada’. Jikalau variabel naskh digunakan pada bab bada’, maka hasil pemahaman bisa jadi salah kaparah. Lagi, dalam bahasa Arab, kalam dipahami bisa jadi secara haqiqi ataupun majazi. Masing-masing memiliki variabel, cabang, serta konteksnya masing-masing. Seandainya ada pernyataan majazi namun dipahami secara haqiqi, tentu bisa diketahui hasilnya, tidak tepat, salah memahami konteks, tidak sesuai variabel, dan cabangnya jauh dari akar permasalahan. Tidak titis. Tidak waskita.
Contoh sederhana tadi pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam ketika turun ayat 
"...وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر..." (البقرة:١٨٧)
Ada diantara sahabat yang mencoba memahami rajutan hitam dan putih secara makna haqiqi, namun setelah itu Nabi meluruskannya dan menjelaskan bahwa ayat itu bermakna majazi, dari malam sampai pagi. Setelah sekilas memahami ilmu titis, kalau bisa waskita, sebagai pemuda muslim yang kebetulan sedang menuntut ilmu di Al-Azhar, ditambahlagi sebagai seorang diaspora bangsa, alangkah baiknya kita mulai nyicil berilmu titis dan bersamaan meningkatkannya ke tahap waskita. Bukankah kedua ilmu tersebut menjadi syarat profesionalisme dalam segala hal? Wallahu A’lam bi shawab.(Salman)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar