قال الله تعالى : "... وَأْتُوا البُيوْتَ مِنْ
أَبوَابهَا ..." (البقرة:١٨٩)
Segala
sesuatu memiliki pintu masuknya masing-masing, berbeda, sekaligus apa yang ada
dibalik pintu tersebut. -Penulis-
Mahasiswa
bilateral, sebagai seorang utusan, layaknya seorang sniper yang sedang
menjalankan tugasnya. Seorang sniper tentu ia sudah memliki daftar sasaran dan
target. Ia –kalau profesional– tentu mengetahui ilmu-ilmu menembak tepat
sasaran -100%- atau “titis”; fisik, arah angin, situasi lingkungan,
waktu, insting, dan sebagainya. Namun itu semua belumlah memenuhi persyaratan well-done-project
bilamana target belum tertembak mati. Belum tuntas. Dan ternyata ia juga harus
lolos dari serangan balik lawan. Tidak diketahui darimana asal suara tembakan,
bahkan kalau bisa ‘seakan-akan’ misi yang sedang ia laksanakan dianggap oleh
orang-orang sebagai sebuah ‘kecelakaan’. Iya, ia harus “waskita”.
Bayangkan, jikalau ia gagal tepat sasaran! Apa-apa saja yang akan terjadi?
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), titis bermakna dua; titik, dan
peralihan dari satu tubuh ke yang lain atau menjelma. Namun yang dimaksudkan titis
dalam tulisan ini bukanlah demikian. Sebenarnya istilah titis lebih
tepatnya dinisbatkan ke bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia resmi berarti jitu
–karena berkaitan dengan sasaran. Tapi kata “jitu” sendiri tidaklah sepenuhnya
mewakili nuansa titis. Begitu pula waskita, secara KBBI artinya
terang tiliknya, tajam penglihatan dan mata pandangnya. Pada dasarnya kata waskita
merupakan ‘produk’ budaya Jawa. Waskita tidak hanya itu, ia bermakna
lebih dari bijaksana. Namun sekali lagi tidak ada dalam bahasa Indonesia yang
sanggup diamanahi makna ke-waskita-an sehingga pada akhirnya ia diserap
ke dalam bahasa Indonesia. Dan kali ini, kedua kata tersebut diasosiasikan ke
dalam ilmu terapan.
Setelah
mengetahui sekilas pengertian titis dan waskita, kedua ilmu
tersebut tidak hanya diterapkan dalam dunia angkatan bersenjata. Ilmu-ilmu yang
mengandung unsur akar dan cabang, atau usul dan furu`, atau
variabel-variabel –dalam bahasa matematika– sangatlah memerlukan titis
dan waskita dalam penerapannya. Kalau dalam lingkup militer titis
itu tepat sasaran, dalam dunia akademis ia bisa berarti penerapan ilmu tepat
pada konteksnya. Jika dalam dunia militer waskita itu tajam mata
pandangnya –mampu meprediksi sangat baik apa yang akan terjadi, pada dimensi
keilmuan ia bisa berarti sudut pandang yang sesuai objeknya.
Sebagai
contoh kecil, ilmu usul fiqh, pada bab naskh dan bada’,
masing-masing mempunyai cabang-cabangnya, variabel-variabelnya,
konteks-konteksnya. Dua istilah itu juga tentu saja berbeda pengertiannya. Maka
secara otomatis kita harus mengerti mana saja yang termasuk naskh-mansukh
dan mana yang tergolong bab bada’. Jikalau variabel naskh
digunakan pada bab bada’, maka hasil pemahaman bisa jadi salah kaparah.
Lagi, dalam bahasa Arab, kalam dipahami bisa jadi secara haqiqi
ataupun majazi. Masing-masing memiliki variabel, cabang, serta
konteksnya masing-masing. Seandainya ada pernyataan majazi namun
dipahami secara haqiqi, tentu bisa diketahui hasilnya, tidak tepat,
salah memahami konteks, tidak sesuai variabel, dan cabangnya jauh dari akar
permasalahan. Tidak titis. Tidak waskita.
Contoh
sederhana tadi pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wasallam ketika turun ayat
"...وكلوا واشربوا حتى
يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر..." (البقرة:١٨٧)
Ada diantara sahabat yang mencoba memahami rajutan
hitam dan putih secara makna haqiqi, namun setelah itu Nabi meluruskannya dan
menjelaskan bahwa ayat itu bermakna majazi, dari malam sampai pagi.
Setelah sekilas memahami ilmu titis, kalau bisa waskita, sebagai
pemuda muslim yang kebetulan sedang menuntut ilmu di Al-Azhar, ditambahlagi
sebagai seorang diaspora bangsa, alangkah baiknya kita mulai nyicil berilmu titis
dan bersamaan meningkatkannya ke tahap waskita. Bukankah kedua ilmu
tersebut menjadi syarat profesionalisme dalam segala hal? Wallahu A’lam bi
shawab.(Salman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar