Sejarah telah mencatat bahwa “Hijrah” memiliki peranan
yang sangat penting dalam kemajuan Islam. Penolakan terhadap Islam yang nyata
dari bani Quraisy terutama kalangan keluarga sendiri disertai berbagai
cerca-makian serta penyiksaan, membuat langkah dakwah begitu berat. Hijrahnya
menuju Madinah merupakan momentum perubahan yang gemilang. Jika sebelumnya, Islam
adalah seruan kepada keesaan, maka di Madinah, Islam menjelma menjadi peradaban
yang maju, terdepan dan bertauhid. Langkah hijrah diteruskan oleh para sahabat
dengan tujuan utama; menyebarkan agama rahmatan lilalamin. Kemudian diteruskan oleh ulama setelah
mereka, hijrah ini belum berhenti hanya pada penyebaran agama, tetapi juga
mencari, mempelajari, mengkaji, serta meneladani sejuta Ilmu yang telah menjadi poin sekaligus tujuan utama. Hingga
saat ini tradisi bepergian dalam menuntut ilmu tetap terjaga dan kental
mengalir dalam darah semangat juang ummat. Sebutan “As-Safar Fi-t-tholabil ‘ilmi”
seakan tak asing lagi, tak terlepaskan dari para pecinta ilmu yang rela merantau
memikul beban dan harapan.
Kembali kepada hakikat manusia yang dikaruniai kelebihan
berupa akal, menjelaskan bahwa ilmu merupakan kebutuhan pokok setiap insan.
Makan-minum adalah sumber tenaga jasadi, akal sebagai roda yang terus berputar
menapak lintasan ilmu pengetahuan, keimanan sebagai kemudi robbani menuju
langkah pasti dengan Sang Maha Terpuji akan tujuan yang dinanti. Sebagai mahluk
hidup, makan-minum adalah dua hal yang tak terlupa, sedangkan menuntut ilmu dan
keimanan “seakan” tidak semua mahluk nan tercipta paling sempurna menyadari
pentingnya dua hal ini. Taburan panggilan tentang keimanan, juga tentang
menuntut ilmu seperti bintang malam yang hanya dilihat cahayanya. Tak terhitung
yang mengerti, tetapi tidak banyak yang mau mengamalkannya. Hadis nabawi yang
artinya “Menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimah”,
juga firman Allah yang artinya “….Dan orang-orang yang menuntut ilmu beberapa
derajat”, menjelaskan bahwa menuntut ilmu tidak berhenti pada garis kewajiban, balasan
kemuliaan bagi yang melaksanakannya, membuktikan bahwa ilmu merupakan kebutuhan
primer bagi setiap insan.
Adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari yang biasa kita kenal dengan nama
Imam Bukhari, seorang ahli hadis termasyhur bergelar Amirul Mukminin fil
Hadits, di usianya yang masih belia, beliau berguru kepada Syeikh Ad-Dakhili, ulama
hadits di kotanya Bukhara. Dalam meneliti hadis, beliau mengunjungi berbagai
kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi hadis-hadis
shahih. Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad dan
negara-negara Asia Barat tak lepas dari langkah penelitiannya. Tak terbayangkan
berapa orang yang ia jumpai dan berapa jauh jarak yang ditempuhnya hanya untuk
belajar hadits dan memverifikasi keshahihan satu hadits. Selain beliau ada Imam
Syafii masih bayak lagi –hampir semua- ulama yang pergi mencari guru untuk
menuntunnya dalam memenuhi kebutuhan keilmuan dan hikmah.
Kebutuhan akan ilmu dan metode pembelajaran setiap yang
berakal berbeda beda. Mengembangkan keilmuan tidak sebatas mencari informasi di
media yang ada, karena dalam mengembangkan keilmuan dibutuhkan literatur yang tak
tentu jumlahnya serta waktu yang cukup lama, belumlagi ada sebagian literateur
yang memerelukan informasi akan kekonkritan isinya. Hal ini melatar belakangi kebutuhan
mutlaq seorang guru, sebagai pembimbing, tempat bertanya, dan berdiskusi. Pencarian
sendiri berhari-hari pun dapat dijawab hitungan menit. Disinilah letak penting
sebuah pengembaraan mencari tempat peraduan dan teman sepemahaman.
Perjalanan keilmuan adalah langkah jihad yang mulia.
Allah sertakan keutamaan darinya bertambah ilmu dan wawasan, memperbanyak
saudara dengan silaturahminya, dan Allah ijabahkan doa-doanya sampai ia kembali
dari perjalanannya. Serta pencarian
Waktu akan terus berlalu, tak peduli dengan apa yang
terjadi. Yang belajar bertambah wawasan, yang diam bertambah bosan, rapuh,
jatuh. Tidak ada bedanya, akal yang terus berfikir, berbingung-bingung, hinga
terbukanya halaman pengetahuan baru, dan akal yang diam, takut lelah, akan lemas
dan mati. Maka raungilah dunia, carilah
guru, teguk kejernihan hikmah, terus mengalir dan menjernihkan. Imam Syafi’I
dalam syairnya tentang fawaaidussafar
إني رأيت وقوف
الماء يفسده # إن ساح طاب وإن لم يجر لم يطب
“Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan, jika
mengalir menjadi jernih, jika tidak maka ia akan keruh menggenang (rusak)”.(Nida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar