Selasa, 02 Agustus 2016

ILMU DAN SAFAR


Sejarah telah mencatat bahwa “Hijrah” memiliki peranan yang sangat penting dalam kemajuan Islam. Penolakan terhadap Islam yang nyata dari bani Quraisy terutama kalangan keluarga sendiri disertai berbagai cerca-makian serta penyiksaan, membuat langkah dakwah begitu berat. Hijrahnya menuju Madinah merupakan momentum perubahan yang gemilang. Jika sebelumnya, Islam adalah seruan kepada keesaan, maka di Madinah, Islam menjelma menjadi peradaban yang maju, terdepan dan bertauhid. Langkah hijrah diteruskan oleh para sahabat dengan tujuan utama; menyebarkan agama rahmatan lilalamin. Kemudian diteruskan oleh ulama setelah mereka, hijrah ini belum berhenti hanya pada penyebaran agama, tetapi juga mencari, mempelajari, mengkaji, serta meneladani sejuta Ilmu yang  telah menjadi poin sekaligus tujuan utama. Hingga saat ini tradisi bepergian dalam menuntut ilmu tetap terjaga dan kental mengalir dalam darah semangat juang ummat. Sebutan “As-Safar Fi-t-tholabil ‘ilmi” seakan tak asing lagi, tak terlepaskan dari para pecinta ilmu yang rela merantau memikul beban dan harapan.

Kembali kepada hakikat manusia yang dikaruniai kelebihan berupa akal, menjelaskan bahwa ilmu merupakan kebutuhan pokok setiap insan. Makan-minum adalah sumber tenaga jasadi, akal sebagai roda yang terus berputar menapak lintasan ilmu pengetahuan, keimanan sebagai kemudi robbani menuju langkah pasti dengan Sang Maha Terpuji akan tujuan yang dinanti. Sebagai mahluk hidup, makan-minum adalah dua hal yang tak terlupa, sedangkan menuntut ilmu dan keimanan “seakan” tidak semua mahluk nan tercipta paling sempurna menyadari pentingnya dua hal ini. Taburan panggilan tentang keimanan, juga tentang menuntut ilmu seperti bintang malam yang hanya dilihat cahayanya. Tak terhitung yang mengerti, tetapi tidak banyak yang mau mengamalkannya. Hadis nabawi yang artinya “Menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimah”, juga firman Allah yang artinya “….Dan orang-orang yang menuntut ilmu beberapa derajat”, menjelaskan bahwa menuntut ilmu tidak berhenti pada garis kewajiban, balasan kemuliaan bagi yang melaksanakannya, membuktikan bahwa ilmu merupakan kebutuhan primer bagi setiap insan.

Adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari yang biasa kita kenal dengan nama Imam Bukhari, seorang ahli hadis termasyhur bergelar Amirul Mukminin fil Hadits, di usianya yang masih belia, beliau berguru kepada Syeikh Ad-Dakhili, ulama hadits di kotanya Bukhara. Dalam meneliti hadis, beliau mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi hadis-hadis shahih. Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad dan negara-negara Asia Barat tak lepas dari langkah penelitiannya. Tak terbayangkan berapa orang yang ia jumpai dan berapa jauh jarak yang ditempuhnya hanya untuk belajar hadits dan memverifikasi keshahihan satu hadits. Selain beliau ada Imam Syafii masih bayak lagi –hampir semua- ulama yang pergi mencari guru untuk menuntunnya dalam memenuhi kebutuhan keilmuan dan hikmah.

Kebutuhan akan ilmu dan metode pembelajaran setiap yang berakal berbeda beda. Mengembangkan keilmuan tidak sebatas mencari informasi di media yang ada, karena dalam mengembangkan keilmuan dibutuhkan literatur yang tak tentu jumlahnya serta waktu yang cukup lama, belumlagi ada sebagian literateur yang memerelukan informasi akan kekonkritan isinya. Hal ini melatar belakangi kebutuhan mutlaq seorang guru, sebagai pembimbing, tempat bertanya, dan berdiskusi. Pencarian sendiri berhari-hari pun dapat dijawab hitungan menit. Disinilah letak penting sebuah pengembaraan mencari tempat peraduan dan teman sepemahaman.

Perjalanan keilmuan adalah langkah jihad yang mulia. Allah sertakan keutamaan darinya bertambah ilmu dan wawasan, memperbanyak saudara dengan silaturahminya, dan Allah ijabahkan doa-doanya sampai ia kembali dari perjalanannya. Serta pencarian

Waktu akan terus berlalu, tak peduli dengan apa yang terjadi. Yang belajar bertambah wawasan, yang diam bertambah bosan, rapuh, jatuh. Tidak ada bedanya, akal yang terus berfikir, berbingung-bingung, hinga terbukanya halaman pengetahuan baru, dan akal yang diam, takut lelah, akan lemas dan mati.  Maka raungilah dunia, carilah guru, teguk kejernihan hikmah, terus mengalir dan menjernihkan. Imam Syafi’I dalam syairnya tentang fawaaidussafar

 إني رأيت وقوف الماء يفسده  #              إن ساح طاب وإن لم يجر لم يطب

“Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan, jika mengalir menjadi jernih, jika tidak maka ia akan keruh menggenang (rusak)”.(Nida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar