Selasa, 02 Agustus 2016

TAHU MAJRUR


"... hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong bagai perut bedug ...[i]

K.H. Mustofa Bisri

Alkisah, di pagi subuh Mukhlis beranjak menuju masjid, namun sementara langkah kaki memburu waktu, ia terhenti oleh salah seorang guru sepuh, terjadilah perbincangan antara keduanya. Sang guru bertanya: “Mengapa tahu itu enak ?”, Mukhlis terdiam. “Karena tahu marfu’. Apa jadinya kalau tahu itu majrur ?”, kata sang guru disusul tawa kemenagan atas terdiamnya Mukhlis. Dikenal sebagai santri terpandai dalam pelajaran Nahwu Mukhlis bertanya-tanya dalam dirinya sendiri tentang tahu dan majrur dan keabasahan relasi antara keduanya.

Dalam fikiran Mukhlis  ...

Tahu sebagai isim, maka tahu adalah tahu merupakan isim ‘alam dan juga merupakan isim ‘ajam. Maka tahu termasuk jenis isim yang tidak menerima tanwin, dan kalau memang begitu meskipun tahu termasuk isim mu’rob, akan tetapi tidak mungkin tahu berharakat akhir kasrah, sebab ia majrur dengan fathah.

Tahu sebagai fi’il, jika memang tahu yang dimaksud sang guru adalah fi’il maka tak mungkin adanya tahu majrur, karena majrur hanya ada untuk isim. Hal ini membingungkan Mukhlis sampai ia tertidur.

Dalam mimpinya . . .

Mukhlis bertemu seseorang yang memberi jawaban atas kebingungannya.

Seperti inilah realita yang terjadi di kalangan yang sibuk dirinya, fikirannya, darahnya, imannya dalam hal yang ia sebut sebagai ilmu. Segenap pengetahuan yang didapat hanya terhenti pada substansi ilmu itu sendiri. Tanpa mampu menemukan jalan yang lebih dari ranah sunstantif.

Dikarenakan tinggi dan luasnya pengetahuan yang diagung-agungkan, sehingga yang ada dihadapan pun menjadi kabur wujudnya, layaknya seorang bocah dengan peta harta karun yang berada di kerumunan raksasa dan peti harta karunnya terkalung di leher salah satu raksasa, sebegitu yakinnya dengan petanya sampai ia melupakan bahwa setiap raksasa tidak diam di tempatnya.

Dengan mengesampingkan apa itu kualitas dan apa itu kuantitas maka dipilihlah kedua-duanya untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang bermutu. Demi memperoleh kebenaran darinya. Dan tanpa menyadari bahwa seorang bayi yang telah lebih dahulu berada di sisi-Nya tanpa harus melalui jalan pengetahuan dan tahu apa itu kebenaran.

Di sinilah perlu adanya pos-pos istirahat di sepanjang jalur pengetahuan dalam perjalanan mudik menuju kampung yang abadi. Untuk melihat kesesuaian antara apa yang diketahui (yang tercantum dalam lembaran-lembaran buku dan kitab) dengan realita, ataupun hanya untuk sekedar membasuh muka dengan seciduk air pembersih hati dalam rangkaian zikir, wirid dan sholawat agar suci dari debu dan asap dengki, hasud, dan takabbur.

Lebih dari sekedar berhenti beristirahat, maka berhenti untuk membuka mata hati memperluas sudut pandang hingga tidak menjadi seperti katak dalam tempurung kaca yang sudah berkeliling dunia. Mampu bercerita kepada kawan-kawannya di kampung halaman tentang semua negeri yang ia kunjungi dan apa yang ia ketahui. Namun ia lupa bahwa area gerak tubuhnya hanya sebatas tempurung. Padahal jika saja tempurung yang mengurung dipecahkan, mungkin ia tak akan menceritakan apa saja yang ia tahu.

Maka tahu majrur hanyalah sebuah guyonan yang tidak membutuhkan penalaran logistik maupun linguistik.

Subuh esok harinya . . .

Subuh kali ini Mukhlis ganti menghampiri sang guru untuk mengungkapkan apa yang terbesit dalam fikirannya. Sang guru lalu menunjuk perut dan kepala Mukhlis. “jangan isi yang di bawah terus, yang keluar dari sini hanya majrur (lawan dari irtifa’; diangkat/mulia), kosongkan sesekali biar yang di atas nggak kosong meski nampaknya berisi. “ kata sang guru sebelum sempat Mukhlis angkat bicara.[ii]





[i] Sama halnya dengan ilmu yang bisa menjadi begitu kering dan kosong
[ii] Mukhlis hanyalah seorang santri di persntren kecil di pelosok desa, maka bagaimana menurutmu dengan mahasiswa lintas kota, negara bahkan benua ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar