"... hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong
bagai perut bedug ... “[i]
K.H. Mustofa Bisri
Alkisah, di pagi subuh
Mukhlis beranjak menuju masjid, namun sementara langkah kaki memburu waktu, ia
terhenti oleh salah seorang guru sepuh, terjadilah perbincangan antara
keduanya. Sang guru bertanya: “Mengapa tahu itu enak ?”, Mukhlis terdiam. “Karena tahu marfu’. Apa
jadinya kalau tahu itu majrur ?”, kata sang guru disusul tawa kemenagan atas
terdiamnya Mukhlis. Dikenal sebagai santri terpandai dalam pelajaran Nahwu
Mukhlis bertanya-tanya dalam dirinya sendiri tentang tahu dan majrur dan
keabasahan relasi antara keduanya.
Dalam fikiran Mukhlis ...
Tahu sebagai isim, maka tahu
adalah tahu merupakan isim ‘alam dan juga merupakan isim ‘ajam. Maka tahu
termasuk jenis isim yang tidak menerima tanwin, dan kalau memang begitu
meskipun tahu termasuk isim mu’rob, akan tetapi tidak mungkin tahu berharakat
akhir kasrah, sebab ia majrur dengan fathah.
Tahu sebagai fi’il, jika
memang tahu yang dimaksud sang guru adalah fi’il maka tak mungkin adanya tahu
majrur, karena majrur hanya ada untuk isim. Hal ini membingungkan Mukhlis
sampai ia tertidur.
Dalam mimpinya . . .
Mukhlis bertemu seseorang
yang memberi jawaban atas kebingungannya.
Seperti inilah realita yang
terjadi di kalangan yang sibuk dirinya, fikirannya, darahnya, imannya dalam hal
yang ia sebut sebagai ilmu. Segenap pengetahuan yang didapat hanya terhenti
pada substansi ilmu itu sendiri. Tanpa mampu menemukan jalan yang lebih dari
ranah sunstantif.
Dikarenakan tinggi dan
luasnya pengetahuan yang diagung-agungkan, sehingga yang ada dihadapan pun
menjadi kabur wujudnya, layaknya seorang bocah dengan peta harta karun yang
berada di kerumunan raksasa dan peti harta karunnya terkalung di leher salah
satu raksasa, sebegitu yakinnya dengan petanya sampai ia melupakan bahwa setiap
raksasa tidak diam di tempatnya.
Dengan mengesampingkan apa
itu kualitas dan apa itu kuantitas maka dipilihlah kedua-duanya untuk
menghasilkan sebuah pengetahuan yang bermutu. Demi memperoleh kebenaran
darinya. Dan tanpa menyadari bahwa seorang bayi yang telah lebih dahulu berada
di sisi-Nya tanpa harus melalui jalan pengetahuan dan tahu apa itu kebenaran.
Di sinilah perlu adanya
pos-pos istirahat di sepanjang jalur pengetahuan dalam perjalanan mudik menuju
kampung yang abadi. Untuk melihat kesesuaian antara apa yang diketahui (yang
tercantum dalam lembaran-lembaran buku dan kitab) dengan realita, ataupun hanya
untuk sekedar membasuh muka dengan seciduk air pembersih hati dalam rangkaian zikir,
wirid dan sholawat agar suci dari debu dan asap dengki, hasud,
dan takabbur.
Lebih dari sekedar berhenti
beristirahat, maka berhenti untuk membuka mata hati memperluas sudut pandang
hingga tidak menjadi seperti katak dalam tempurung kaca yang sudah berkeliling
dunia. Mampu bercerita kepada kawan-kawannya di kampung halaman tentang semua
negeri yang ia kunjungi dan apa yang ia ketahui. Namun ia lupa bahwa area gerak
tubuhnya hanya sebatas tempurung. Padahal jika saja tempurung yang mengurung dipecahkan,
mungkin ia tak akan menceritakan apa saja yang ia tahu.
Maka tahu majrur hanyalah
sebuah guyonan yang tidak membutuhkan penalaran logistik maupun
linguistik.
Subuh esok harinya . . .
Subuh kali ini Mukhlis ganti
menghampiri sang guru untuk mengungkapkan apa yang terbesit dalam fikirannya.
Sang guru lalu menunjuk perut dan kepala Mukhlis. “jangan isi yang di bawah
terus, yang keluar dari sini hanya majrur (lawan dari irtifa’; diangkat/mulia),
kosongkan sesekali biar yang di atas nggak kosong meski nampaknya berisi. “
kata sang guru sebelum sempat Mukhlis angkat bicara.[ii]
[i] Sama
halnya dengan ilmu yang bisa menjadi begitu kering dan kosong
[ii] Mukhlis hanyalah seorang santri di persntren
kecil di pelosok desa, maka bagaimana menurutmu dengan mahasiswa lintas kota,
negara bahkan benua ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar