Buat apa belajar,
buat apa berimajinasi, buat apa berkreasi, buat apa merevolusi, buat apa
membangun, buat apa berkembang, buat apa sastra, jika Indonesia sudah maju!,
sebab sastra tidaklah lebih dari sebuah mainan kata yang diselipkan dalam
pelajaran bahasa Indonesia sewaktu SMP maupun SMA dan tidak berarti apa-apa
bagi mereka. Ingat! Indonesia bisa merdeka bukan karena sastra, Indonesia bisa
maju seperti ini…bukan karena sastra, Indonesia bisa sehebat saat ini….bukan
karena sastra. Sastra hanyalah orang dibalik layar bioskop yang tak terlihat
sedikitpun oleh para penonton. Sastra hanyalah ‘penceklik’ nilai-nilai
pancasila, sastra hanyalah teks berdebu dan karena sastra memang
diumpat-umpatkan oleh Indonesia. Sastra sedang disimpan pada hijaunya hutan
Indonesia dan tertimbun didalam gunung-gunung di Indonesia.
Mereka manusia-manusia
Indonesia telah berhasil membawa Indonesia menuju gerbang kemeredekaan bahkan
gerbang modernitas, namun mengapa Indonesia ‘masih’ sehabat begini? Mengapa Indonesia
‘bisa’ seperti saat ini? Mereka itu pandai secara lahir, tapi tidak secara
batin.
Percaya! Sastra
tidak lebih seperti obat yang pahit bagi manusia Indonesia. Ia beraroma busuk
bagi para pelacur, dia beraroma bangsat bagi para koruptor, dan dia beraroma racun
bagi para penista hukum. Tidak akan ada yang menudukung sastra berkembang di
Indonesia, percayalah!. Sastra sejatinya akan tetap dipenjara dikedalaman hutan
Papua, tetap dipenjara didalamnya kedalaman laut Banda, akan terasingkan sebagaimana dipedalaman suku
Badui, dan selalu dimusnahkan diseluruh nusantara. Ironis memang, tapi
begitulah manusia Indonesia begitu ‘pintarnya’.
Sastra tidak akan
mempunyai ruang untuk membangun masyarakat Indonesia, sebab manusia Indonesia
telah puas dengan pembangunan lahiriah. Saya tidak menyebut anda sebagaimana ‘diatas’,
sebab anda memiliki pembangunan lahiriah dan batiniah bagi para masisir.
Percayalah! Pembangunan lahiriah tidak
bisa menjawab semua persoalan manusia. Tapi pembangunan yang anda alami adalah
pembangunan yang akan menjawab permasalahan batiniah sentimen, korupsi,
loyalitas, nepotisme, radikalisme dan segalanya yang tidak bisa dijawab dengan
angka-angka, rumus, atau kejelimetan sejumlah birokrasi di Indonesia.
Persoaalan tersebut menyangkut jiwa-jiwa manusia, jangan andalakan jiwa manusia
di Indonesia, pikirkanlah jiwa manusia anda sendiri, karena pembangunan
batiniah anda disana, bisa menjadi jawaban sastra bagi manusia disini.
Akan semakin bodoh
manusia Indonesia jika seluruh mata pelajaran sastra dipaksakan masuk kedalam
kurikulum pendidikan nasional. Sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana ‘bom
atom’ akan merusak-barukan Indonesia, sebagaimana Jepang dahulu dan sekarang.
Maka sungguh benar ‘tidak bisa dibayangkan bagaimana ‘bom atom’ akan
merusak-barukan Indonesia, sebagaimana Jepang dahulu dan sekarang’. Dan memang sungguh
benar ‘tidak bisa dibayangkan bagaimana ‘bom atom’ akan merusak-barukan
Indonesia sebagaimana Jepang dahulu dan sekarang’.
Cukup dengan
masisir membangun jawaban atas keraguan pembangunan lahiriah Indonesia,
persoalan-persoalan bisa dijawab dengan memasuki sastra (batiniah). Semakin
banyak anda menumpuk sastra dijiwa anda maka semakin membesar empati anda
terhadap negara ini. Cukup dengan empati-empati yang berlapiskan nilai dapat
memanusiakan manusia dan membangsakan bangsa ini. Dan jika sudah seperti itu
saya yakin, bahwa manusia Indonesia tidak akan sanggup lagi untuk korupsi, menghina
etnis/komunitas/agama, bersikap materialistis bahkan perbuatan hina-dina
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar