Indonesia telah
merdeka, telah hilang tabir penghalang, pengekang jiwa dan cita-cita bangsa
Indonesia. Tidak cukup dengan
menciptakan kemerdekaan bangsa, dan tanah air, tetapi menelurkan pula
jiwa yang bebas dinamis, realistis, dan revolusioner. serta memancarkan seni –
sastra yang bernafaskan keindahan, melalui pengalaman jiwa, mengalir didalamnya kebaikan, kesopanan,
kearifan dan memegang teguh masalah suluki,
tarbawy, dan akhlaky. sehingga
mencapai nilai estetika yang tinggi.
Berbicara tentang
sastra, berarti berani berbicara tentang budaya, dan masyarakat, karena pada
dasarnya masyarakat dan budayalah yang menjadikan dua manifestasi
penting untuk menciptakan sekaligus menghasilkan sastra. Masyarakat merupakan
latar belakang produksi karya, karenanya lahirlah sastrawan yang kreatif, aktif,
dan imajiner. Di dalam karyanya, selalu terbungkus norma dan moral yang menjadi molek utama bagi
para sastrawan. Masyarakat yang
terkandung di dalam karya dan masyarakat pembacalah yang mengandung makna
paling kaya, dari masyarakatlah lahir sebuah makna dan hiduplah suatu kata,
serta memberinya tafsiran yang
berbeda-beda, antara ruang dan waktu,
ruang yang bebas, dan waktu yang berbeda. Perbedaan inilah
menjadikan karya sastra menjadi bermakna, tetap hidup sepanjang masa, dan
bermanfaat bagi masyarakat. Sastra juga merupakan roh kebudayaan; lahir dari
kegelisahan, dan kerumitan kebudayaan. Ia dipandang sebagai potret sosial
dengan mengungkapkan kondisi masyarakat, memancarkan semangat pada setiap
zaman, menyerupai pantulan perkembangan pemikiran, memberi pemahaman yang khas
atas sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan. dalam konteksnya, mempelajari
sastra tidaklah berbeda hakikatnya dengan usaha memahami kebudayaan, karena
mempelajari kebudayaan bangsa tanpa sastra adalah hambar dan tidak lengkap.
Disitulah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan bangsa. Antara masyarakat dan
kebudayaan memiliki pengaruh yang kuat atas sastra, apabila masyarakat dan
kebudayaan rapuh- lumpuh, maka sastrapun akan rapuh dan lumpuh, bahkan hancur
tak lagi tumbuh. Lalu bagaimana dengan
nasib sastra bangsa saat ini? Akankah modernisasi mengikis dan mengubur dalam-dalam
sastra? Adakah ruang bagi bangsa Indonesia untuk membangun dan memperkokoh
sastra?
Jika kita tengok kembali kebelakang,
bentuk-bentuk sastra mengalir melalui genre estetis, humanistis, etis –
moralis, dan religius-sufistis-profetis. Mengoptimalkan peran secara total,
optimal dan loyal. Sastra selalu disirami dengan keindahan, keelokan, kenikmatan,
kecintaan, keharmonisan, kepercayaan, keoptimisan, kadar kepahaman akan
sehembusan kehidupan, keanggunan dalam berfikir, berkata, dan berperilaku disetiap ruang dan waktu.
Mengandung didalamanya nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat, serta
menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi masalah. Menyimpan
norma etis dan moral yang terawat diantara masyarakat. Menyajikan pengalaman
spiritual, dan transendental. Menuangkan sarana dalam berfikir sesuai dengan
fakta, kekonsistenan data, dan pembekuan berita marak terjadi didalam kehidupan
nyata. Menggunakannya sebagai sarana berdzikir bagi manusia akan kekuasaan, keagungan,
kebijaksanaan, keadilan atas Yang Maha Kuasa dan membangun jiwa yang lahiriah
dan batiniah.
Sasatra selalu berproses sesuai
dengan zamannya, lambat tapi pasti, modernisasi sastra menundukan identas
sastra bangsa, mengikis norma, merapuhkan bahasa dan mengubur dalam-dalam
estetika yang beretika. Tuan-tuan modernisasipun masuk untuk mengarahkan
kegelisahan dan ketegangan, antara fragma dan koherensi, antara evokasi dan
representasi, antara pengalaman dan kenangan, antara tulisan dan oralitas. Sastra
modern merakit lebih tajam lagi dalam memainkan peranan. Tata bahasa, kamus,
dan aturan ejaan digelapkan, peraturan dan ketertiban dianggap pajangan,
didalam karya tulis seksualitas sastra kelewatan batas, ideologi bebas membius
moral bangsa dengan ganas, asimilasi dan komfrontasi mulai kehilangan kekuatan
konfrehensifnya. Media mulai bertentangan dengan fakta, ketidak koherenan dan
konsistenan data, selalu terjadi pada kehidupan nyata. Sastra dijadikan sebagai
kepentingan politik; melahirkan
pertarungan nilai, kekeras kepalaan, pujian, cacian, pemenang, dan pecundang. Belum
cukup sastra modern Menghadirkan keironisan, kini hadir media perfilman secara
apik dan menarik, tetapi jauh dari kode
etik, keluar dari kontrol, dan keseimbangan sastra. Sehingga sastra menjelma
rapuh dan lumpuh.
Sebenarnya cukup dengan masisir
menjadikan sastra sebagai pembentukan karakter bangsa, membangun keraguan
dengan mengoptimalkan kemauan membaca, mengekspresikannya dalam sebuah karya
sastra, mengkajinya dalam sebuah wacana, serta mengkolaborasikannya dalam
kehidupan nyata, sudah mampu menjawab
persoalan-persoalan, dan menahannya dari kerapuhan. Semakin kita memupuk dan mengolah sastra pada
jiwa kita, maka semakin kuat mental dan teguh empati. Cukup dengan kekuatan
mental dan keteguham empati-empati berlapis nilai dapat menghidupkan manusia
dan budaya, serta mengokohkan sastra dan bahasa. Jika sudah demikian saya
yakin, bahwa manusia tidak akan bisa merusak estetika pada sebuah sastra, dan
tidak mampu melumpuhkan etika pada setiap jiwa, bahkan perbuatan hinapun
tidak. Sastra akan tetap estetis,
dinamis dan selalu harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar