Jumat, 05 Februari 2016

Kini Sastra Rapuh Lumpuh


            Indonesia telah merdeka, telah hilang tabir penghalang, pengekang jiwa dan cita-cita bangsa Indonesia. Tidak cukup dengan  menciptakan kemerdekaan bangsa, dan tanah air, tetapi menelurkan pula jiwa yang bebas dinamis, realistis, dan revolusioner. serta memancarkan seni – sastra yang bernafaskan keindahan, melalui pengalaman jiwa,  mengalir didalamnya kebaikan, kesopanan, kearifan dan memegang teguh  masalah suluki, tarbawy, dan akhlaky.  sehingga mencapai nilai estetika yang tinggi.
            Berbicara tentang sastra, berarti berani berbicara tentang budaya, dan masyarakat, karena pada dasarnya masyarakat dan budayalah yang menjadikan dua manifestasi penting untuk menciptakan sekaligus menghasilkan sastra. Masyarakat merupakan latar belakang produksi karya, karenanya lahirlah sastrawan yang kreatif, aktif, dan imajiner. Di dalam karyanya, selalu terbungkus  norma dan moral yang menjadi molek utama bagi para sastrawan.  Masyarakat yang terkandung di dalam karya dan masyarakat pembacalah yang mengandung makna paling kaya, dari masyarakatlah lahir sebuah makna dan hiduplah suatu kata, serta  memberinya tafsiran yang berbeda-beda,  antara ruang dan waktu, ruang yang bebas, dan waktu yang berbeda. Perbedaan inilah menjadikan karya sastra menjadi bermakna, tetap hidup sepanjang masa, dan bermanfaat bagi masyarakat. Sastra juga merupakan roh kebudayaan; lahir dari kegelisahan, dan kerumitan kebudayaan. Ia dipandang sebagai potret sosial dengan mengungkapkan kondisi masyarakat, memancarkan semangat pada setiap zaman, menyerupai pantulan perkembangan pemikiran, memberi pemahaman yang khas atas sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan. dalam konteksnya, mempelajari sastra  tidaklah berbeda hakikatnya  dengan usaha memahami kebudayaan, karena mempelajari kebudayaan bangsa tanpa sastra adalah hambar dan tidak lengkap. Disitulah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan bangsa. Antara masyarakat dan kebudayaan memiliki pengaruh yang kuat atas sastra, apabila masyarakat dan kebudayaan rapuh- lumpuh, maka sastrapun akan rapuh dan lumpuh, bahkan hancur tak lagi tumbuh.  Lalu bagaimana dengan nasib sastra bangsa saat ini? Akankah modernisasi mengikis dan mengubur dalam-dalam sastra? Adakah ruang bagi bangsa Indonesia untuk membangun dan memperkokoh sastra?
            Jika kita tengok kembali kebelakang, bentuk-bentuk sastra mengalir melalui genre estetis, humanistis, etis – moralis, dan religius-sufistis-profetis. Mengoptimalkan peran secara total, optimal dan loyal. Sastra selalu disirami dengan keindahan, keelokan, kenikmatan, kecintaan, keharmonisan, kepercayaan, keoptimisan, kadar kepahaman akan sehembusan kehidupan, keanggunan dalam berfikir, berkata, dan  berperilaku disetiap ruang dan waktu. Mengandung didalamanya nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat, serta menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi masalah. Menyimpan norma etis dan moral yang terawat diantara masyarakat. Menyajikan pengalaman spiritual, dan transendental. Menuangkan sarana dalam berfikir sesuai dengan fakta, kekonsistenan data, dan pembekuan berita marak terjadi didalam kehidupan nyata. Menggunakannya sebagai sarana berdzikir bagi manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, keadilan atas Yang Maha Kuasa dan membangun jiwa yang lahiriah dan batiniah.
            Sasatra selalu berproses sesuai dengan zamannya, lambat tapi pasti, modernisasi sastra menundukan identas sastra bangsa, mengikis norma, merapuhkan bahasa dan mengubur dalam-dalam estetika yang beretika. Tuan-tuan modernisasipun masuk untuk mengarahkan kegelisahan dan ketegangan, antara fragma dan koherensi, antara evokasi dan representasi, antara pengalaman dan kenangan, antara tulisan dan oralitas. Sastra modern merakit lebih tajam lagi dalam memainkan peranan. Tata bahasa, kamus, dan aturan ejaan digelapkan, peraturan dan ketertiban dianggap pajangan, didalam karya tulis seksualitas sastra kelewatan batas, ideologi bebas membius moral bangsa dengan ganas, asimilasi dan komfrontasi mulai kehilangan kekuatan konfrehensifnya. Media mulai bertentangan dengan fakta, ketidak koherenan dan konsistenan data, selalu terjadi pada kehidupan nyata. Sastra dijadikan sebagai kepentingan politik;  melahirkan pertarungan nilai, kekeras kepalaan, pujian, cacian, pemenang, dan pecundang. Belum cukup sastra modern Menghadirkan keironisan, kini hadir media perfilman secara apik dan menarik, tetapi jauh dari  kode etik, keluar dari kontrol, dan keseimbangan sastra. Sehingga sastra menjelma rapuh dan lumpuh.
            Sebenarnya cukup dengan masisir menjadikan sastra sebagai pembentukan karakter bangsa, membangun keraguan dengan mengoptimalkan kemauan membaca, mengekspresikannya dalam sebuah karya sastra, mengkajinya dalam sebuah wacana, serta mengkolaborasikannya dalam kehidupan nyata, sudah  mampu menjawab persoalan-persoalan, dan menahannya dari kerapuhan.  Semakin kita memupuk dan mengolah sastra pada jiwa kita, maka semakin kuat mental dan teguh empati. Cukup dengan kekuatan mental dan keteguham empati-empati berlapis nilai dapat menghidupkan manusia dan budaya, serta mengokohkan sastra dan bahasa. Jika sudah demikian saya yakin, bahwa manusia tidak akan bisa merusak estetika pada sebuah sastra, dan tidak mampu melumpuhkan etika pada setiap jiwa, bahkan perbuatan hinapun tidak.  Sastra akan tetap estetis, dinamis dan selalu harmonis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar