Kamis, 04 Februari 2016

Etika dan Estetika Penuntut Ilmu


Sungguh Allah SWT telah banyak menjelaskan keutamaan para penuntut ilmu, seperti dalam surat Az-Zumar: 9 Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad ) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” Juga masih banyak lagi ayat-ayat senada lainnya yang menjelaskan betapa tingginya derajat penuntut ilmu di sisi Rabbnya, seperti pada surat Thaha :114, Al-Mujadalah: 11, Ali Imran: 18, dan ayat lainya. Namun, tidak serta merta derajat berilmu bisa didapat hanya dengan membaca buku lalu menjadi ulama. Ada banyak tahapan dan syarat yang harus dilalui, sebagaimana para ulama terdahulu menjalaninya.

Dalam KBBI, etika berhubungan dengan akhlak dan budi pekerti. Sedang estetika berkaitan erat dengan seni dan kepekaan. Beretika berarti berbudi pekerti dan berakhlak, berestetika berarti mengandung seni dalam cara pengamalannya.

Dalam kitab Ta’lim Muta’allim, Imam al-Zarnuji al-Hanafi mengatakan tidaklah diperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya bermanfaat kecuali ia mengagungkan ilmu itu sendiri. Memuliakan ilmu juga berarti memuliakan ahli ilmu dan sumbernya (guru, kitab, teman). Sungguh adab lebih penting dari pada ilmu. Karena orang beradab pastilah ia berilmu, sedang orang berilmu belum tentu ia beradab.

Dimulai dari memuliakan ilmu, Imam Abu Sahl al-Sarakhsi al-Hanafi diceritakan pada suatu malam mengulang kembali pelajaran yang terdahulu, kebetulan karena sakit perut, jadi sering buang angin. Karenanya, ia melakukan 17 kali berwudhu dalam satu malam itu karena mempertahankan supaya tetap belajar dalam keadaan suci. Demikianlah sebab ilmu itu cahaya, wudhu pun cahaya. Dan cahaya ilmu akan semakin cemerlang bila dibarengi cahaya berwudhu. Sudah hilangkah dari ingatan kita berapa jauh perjalanan yang ditempuh Imam Bukhari serta para perawi hadis lainya hanya untuk mendapatkan satu ilmu (hadis). Sungguh tidak akan mulia orang yang tidak bisa memuliakan ilmu. Hanya menganggap ilmu sebatas angin berlalu. Sebatas sedikit hafalan agar tidak kosong di atas lembar jawaban. Atau dijadikan batu loncatan untuk mendapat suatu jabatan.

Selain memuliakan ilmu, para penuntut ilmu juga seyogyanya memuliakan kitab. Ada sebuah cerita tentang seseorang yang meletakkan botol tinta di atas kitab yang sedang ia pelajari, ada seorang ulama berkata: “Tidak bermanfaat ilmumu!”, karena itu sudah mengurangi adab terhadap kitab, sedang kitab adalah sumber dari ilmu. Perbuatan kecil memang, namun sangat serius akibatnya jika datang setelahnya sebuah penyepelean. Menganggapnya menjadi tidak berharga. Nyatanya kita lebih suka menjadikannya koleksi di rak buku agar terjajar rapi tanpa pernah terbuka walau sekali. Atau hanya sebatas perantara agar kelak terlihat memuaskan apa yang tercetak di atas hitam putih.

Sungguh pula para pencari ilmu teladan telah banyak mencontohkan bagaimana mereka memuliakan guru mereka semata-mata agar gurunya ridho terhadapnya. Karena keridhaan guru lebih berarti dan berharga dari sejuta materi ilmu apapun. Adalah Hadratussyaikh KH.Hasyim Asy’ari yang ketika nyantri kepada Mbah Yai Kholil Bangkalan sering disuruh untuk mengembalakan kambing dan sapi, membersihkan kandang, dan mencari rumput. Suatu ketika beliau sudah mandi, berpakaian rapi dan siap untuk melaksanakan shalat Asar. Beliau bertemu dengan gurunya Kyai Khalil yang sedang kebingungan mencari cincinnya yang jatuh di WC. Tidak tega dengan keadaan gurunya yang bingung, beliau meminta izin kepada kyai Khalil untuk membongkar spitank untuk mencari cincin yang terjatuh tersebut dan diizinkan. Sungguh ia masuk ke dalamnya demi mencari sebuah cincin. Bukan semata karena nilai cincin itu yang berarti bagi KH.Hasyim Asy’ari, namun keridaan gurunya yang ia cari. Setelah berhasil menemukannya, kyai Khalil amat senang dan berkata “Aku rida padamu wahai Hasyim, kudoakan dengan pengabdianmu dan keikhlasanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar.” Sungguh tidakkah sampai kepada kita berita ulama-ulama dahulu rela mengabdikan waktu untuk gurunya bahkan hingga 40 tahun lamanya. Namun terkadang kita lupa. Dari mana kita bisa hafal surat Al-Fatihah yang kita ulang-ulang dalam shalat lima waktu jika bukan karena jasa guru kita.

Begitu pula dalam menuntut ilmu dibutuhkan cara yang tepat. Tidak serta merta hanya membuka buku lalu memahaminya setelah selesai semua halamanya terbuka, lalu ia terlihat rapi lagi di atas rak nya. Imam al-Zarnuji mengatakan setidaknya ada beberapa hal yang patut di lakukan penuntut ilmu dikala malamnya seperti membuat catatan, mudzakarah, munadharah dan mutharahah.

Mudzakarah berarti adanya saling mengingatkan diantara para penuntut ilmu, jikalau mana-mana ada pemahaman salah satu dari mereka ada yang kurang, maka agar saling melengkapi. Kemudian munadharah berarti mengadakan forum saling mengadu pandangan sesama penuntut ilmu. Dengan begitu dapat melatih sejauh mana ia menguasai ilmu yang baru ia pelajari. Dan mutharahah berarti mengadakan forum diskusi dan kajian. Dan hal yang lebih penting lagi adalah semua itu harus dilakukan dengan keinsyafan, kalem dan penghayatan serta menyingkirkan hal-hal yang berakibat negatif agar kebenaran lah yang dicari, bukan semata-mata mengedepankan nafsu belaka.

Begitu juga dengan apa yang dilakukan imam Syafi’I yang membagi waktunya menjadi tiga. Sepertiga waktu untuk ibadah, sepertiga untuk belajar, dan sepertiga lagi untuk istirahat. Jika waktu malam itu terhitung dari selepas Isya, maka ada sekitar supuluh jam sampai waktu fajar tiba. Terhitung ada tiga jam dua puluh menit Imam Syafi’i gunakan untuk ibadah, begitu pula dengan belajar, serta hanya tiga jam dua puluh menit pula ia gunakan waktu malamnya untuk istirahat. Sedangkan kala waktu siang tiba tidaklah imam Syafii lalui kecuali untuk menghadiri majlis ilmu, mengajar, serta menulis. Bila dihitung, hanya tiga jam dua puluh menit waktu yang imam Syafii lalui dengan kekosongan. Itupun hanya untuk istirahat. Walau demikian, setiap kali membaca buku ia masih lakukan berulang-ulang sebanyak 40 kali.

Masih banyak waktu kita yang terbuang sia-sia. Terbuang tanpa hasil manis yang bisa kita rasakan. Seringkali kita lupa, seringkali kita lalai. Bukan karena kita tidak tahu, bukan pula karena belum pernah mendegar. Namun karena kita tidak mau sadar, atau lebih parah lagi kita menganggap remeh. Sungguh berapa ayat dan hadis yang mengagungkan jalan yang sedang kita pijak ini. Dan betapa Allah SWT amat sayang kepada para penuntut ilmu. Karena dengan ilmu, seorang hamba akan mengetahui siapa dirinya. Dan siapa yang mengetahui dirinya, berarti ia telah mengenal Tuhannya. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu.

Wallahuu A’lam bissowab….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar