Sungguh Allah
SWT telah banyak menjelaskan keutamaan para penuntut ilmu, seperti dalam surat
Az-Zumar: 9 Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad )
apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui.
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” Juga
masih banyak lagi ayat-ayat senada lainnya yang menjelaskan betapa tingginya
derajat penuntut ilmu di sisi Rabbnya, seperti pada surat Thaha
:114, Al-Mujadalah: 11, Ali Imran: 18, dan ayat lainya. Namun, tidak serta
merta derajat berilmu bisa didapat hanya dengan membaca buku lalu menjadi
ulama. Ada banyak tahapan dan syarat yang harus dilalui, sebagaimana para ulama
terdahulu menjalaninya.
Dalam KBBI,
etika berhubungan dengan akhlak dan budi pekerti. Sedang estetika berkaitan
erat dengan seni dan kepekaan. Beretika berarti berbudi pekerti dan berakhlak,
berestetika berarti mengandung seni dalam cara pengamalannya.
Dalam kitab Ta’lim
Muta’allim, Imam al-Zarnuji al-Hanafi mengatakan tidaklah diperoleh
kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya bermanfaat kecuali ia mengagungkan ilmu
itu sendiri. Memuliakan ilmu juga berarti memuliakan ahli ilmu dan sumbernya
(guru, kitab, teman). Sungguh adab lebih penting dari pada ilmu. Karena orang
beradab pastilah ia berilmu, sedang orang berilmu belum tentu ia beradab.
Dimulai dari
memuliakan ilmu, Imam Abu Sahl al-Sarakhsi al-Hanafi diceritakan pada suatu
malam mengulang kembali pelajaran yang terdahulu, kebetulan karena sakit perut,
jadi sering buang angin. Karenanya, ia melakukan 17 kali berwudhu dalam satu
malam itu karena mempertahankan supaya tetap belajar dalam keadaan suci.
Demikianlah sebab ilmu itu cahaya, wudhu pun cahaya. Dan cahaya ilmu akan
semakin cemerlang bila dibarengi cahaya berwudhu. Sudah hilangkah dari ingatan
kita berapa jauh perjalanan yang ditempuh Imam Bukhari serta para perawi hadis
lainya hanya untuk mendapatkan satu ilmu (hadis). Sungguh tidak akan mulia
orang yang tidak bisa memuliakan ilmu. Hanya menganggap ilmu sebatas angin
berlalu. Sebatas sedikit hafalan agar tidak kosong di atas lembar jawaban. Atau
dijadikan batu loncatan untuk mendapat suatu jabatan.
Selain
memuliakan ilmu, para penuntut ilmu juga seyogyanya memuliakan kitab. Ada sebuah
cerita tentang seseorang yang meletakkan botol tinta di atas kitab yang sedang
ia pelajari, ada seorang ulama berkata: “Tidak bermanfaat ilmumu!”, karena itu
sudah mengurangi adab terhadap kitab, sedang kitab adalah sumber dari ilmu.
Perbuatan kecil memang, namun sangat serius akibatnya jika
datang setelahnya sebuah penyepelean. Menganggapnya menjadi tidak
berharga. Nyatanya kita lebih suka menjadikannya koleksi di rak buku agar
terjajar rapi tanpa pernah terbuka walau sekali. Atau hanya sebatas perantara
agar kelak terlihat memuaskan apa yang tercetak di atas hitam putih.
Sungguh pula
para pencari ilmu teladan telah banyak mencontohkan bagaimana mereka memuliakan
guru mereka semata-mata agar gurunya ridho terhadapnya. Karena keridhaan guru
lebih berarti dan berharga dari sejuta materi ilmu apapun. Adalah Hadratussyaikh
KH.Hasyim Asy’ari yang ketika nyantri kepada Mbah Yai Kholil
Bangkalan sering disuruh untuk mengembalakan kambing dan sapi, membersihkan
kandang, dan mencari rumput. Suatu ketika beliau sudah mandi, berpakaian rapi dan siap untuk melaksanakan shalat Asar. Beliau bertemu dengan
gurunya Kyai Khalil yang sedang kebingungan mencari cincinnya yang jatuh di WC.
Tidak tega dengan keadaan gurunya yang bingung, beliau meminta izin kepada kyai
Khalil untuk membongkar spitank untuk mencari cincin yang terjatuh
tersebut dan diizinkan. Sungguh ia masuk ke dalamnya demi mencari sebuah
cincin. Bukan semata karena nilai cincin itu yang berarti bagi KH.Hasyim
Asy’ari, namun keridaan gurunya yang ia cari. Setelah berhasil menemukannya,
kyai Khalil amat senang dan berkata “Aku rida padamu wahai Hasyim, kudoakan
dengan pengabdianmu dan keikhlasanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan
menjadi orang besar.” Sungguh tidakkah sampai kepada kita berita ulama-ulama dahulu
rela mengabdikan waktu untuk gurunya bahkan hingga 40 tahun lamanya. Namun
terkadang kita lupa. Dari mana kita bisa hafal surat Al-Fatihah yang kita
ulang-ulang dalam shalat lima waktu jika bukan karena jasa
guru kita.
Begitu pula
dalam menuntut ilmu dibutuhkan cara yang tepat. Tidak serta merta hanya membuka
buku lalu memahaminya setelah selesai semua halamanya terbuka, lalu ia terlihat
rapi lagi di atas rak nya. Imam al-Zarnuji mengatakan setidaknya ada beberapa
hal yang patut di lakukan penuntut ilmu dikala malamnya seperti membuat catatan,
mudzakarah, munadharah dan mutharahah.
Mudzakarah berarti adanya
saling mengingatkan diantara para penuntut ilmu, jikalau mana-mana ada
pemahaman salah satu dari mereka ada yang kurang, maka agar saling melengkapi.
Kemudian munadharah berarti mengadakan forum saling mengadu pandangan
sesama penuntut ilmu. Dengan begitu dapat melatih sejauh mana ia menguasai ilmu
yang baru ia pelajari. Dan mutharahah berarti mengadakan forum diskusi
dan kajian. Dan hal yang lebih penting lagi adalah semua itu harus dilakukan
dengan keinsyafan, kalem dan penghayatan serta menyingkirkan hal-hal yang
berakibat negatif agar kebenaran lah yang dicari, bukan semata-mata
mengedepankan nafsu belaka.
Begitu juga
dengan apa yang dilakukan imam Syafi’I yang membagi waktunya menjadi tiga.
Sepertiga waktu untuk ibadah, sepertiga untuk belajar, dan sepertiga lagi untuk
istirahat. Jika waktu malam itu terhitung dari selepas Isya,
maka ada sekitar supuluh jam sampai waktu fajar tiba. Terhitung ada tiga jam
dua puluh menit Imam Syafi’i gunakan untuk ibadah, begitu pula dengan belajar,
serta hanya tiga jam dua puluh menit pula ia gunakan waktu malamnya untuk
istirahat. Sedangkan kala waktu siang tiba tidaklah imam Syafii lalui kecuali
untuk menghadiri majlis ilmu, mengajar, serta menulis. Bila dihitung, hanya
tiga jam dua puluh menit waktu yang imam Syafii lalui dengan kekosongan. Itupun
hanya untuk istirahat. Walau demikian, setiap kali membaca buku ia masih
lakukan berulang-ulang sebanyak 40 kali.
Masih banyak
waktu kita yang terbuang sia-sia. Terbuang tanpa hasil manis yang bisa kita
rasakan. Seringkali kita lupa, seringkali kita lalai. Bukan karena kita tidak
tahu, bukan pula karena belum pernah mendegar. Namun karena kita tidak mau
sadar, atau lebih parah lagi kita menganggap remeh. Sungguh berapa ayat dan
hadis yang mengagungkan jalan yang sedang kita pijak ini. Dan betapa Allah SWT
amat sayang kepada para penuntut ilmu. Karena dengan ilmu, seorang hamba akan
mengetahui siapa dirinya. Dan siapa yang mengetahui dirinya, berarti ia telah
mengenal Tuhannya. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu.
Wallahuu A’lam
bissowab….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar