Selepas tentara
Mongol memporak porandakan kota Baghdad yang saat itu sebagai pusat keilmuan di
Wilayah Timur, ditambah jatuhnya Andalus ke tangan kaum Franj, Islam seakan
kehilangan pusat peradabannya. Tentara Mongol berencana menghancurkan Mesir.
Baru sampai di Palestina, pasukan Dinasti Mamluk berhasil menghentikan mereka
dengan dipimin oleh Sulthan Qathz di pertempuran yang terkenal di ‘Ainu Jalut
pada tahun 658 H/1260 M. Kejadian itu membuat para ulama dan pencari ilmu mulai
berbondong bondong memasuki bumi Kinanah yang merupakan daerah Islam teraman
pada masanya dengan Al-Azhar sebagai pusat keilmuanya.
Banyaknya ulama
besar dengan segala macam karyanya membuat Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani kembali
ke Mesir pada tahun 786 H setelah beberapa tahun ditunjuk menjadi Imam di
Masjidil Haram. Satu persatu kitab kitab mulai ia pelajari dan dihafal. Di
Al-Azhar, ia merasakan manisnya menuntut ilmu hingga lahirlah karya besar
sekelas Fathul Baari dan Bulughul Maram. Tak lama berselang,
datanglah seorang yang tak kalah alim menuntut ilmu kepada Ibnu Hajar
pada tahun 841 H, Imam Zakariya Al-Anshari. Dari pemikiran beliau terciptalah
karya karya hebat sekelas Manhajut Thullab. Sebelum wafat, banyak murid
murid yang datang ke Al-Azhar untuk berguru kepada beliau. Salah satunya Imam
Ibnu Hajar Al-Haitami yang datang ke Al-Azhar pada tahun 924 H. Salah satu
karya beliau yang paling dikenal adalah kitab Tuhfatul Muhtaj Syarah Minhaj yang
banyak dipakai di pesantren di Indonesia.
Dua dari tiga pengarang
kitab Fiqh termasyhur di Indonesia, Taqrib (Imam Ibnu Syuja’), Fathul
Qarib Syarah Taqrib (Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi) serta kitab Hasyiyah
Bajuri Syarah Fathul Qarib (Imam Ibrahim Al-Bajuri) banyak menimba
ilmu dari Al-Azhar dengan ulama ulama nya. Hanya Imam Ibnu Syuja’ yang bukan
jebolan Al-Azhar.
Jika kita
merenung, dulu mungkin kita hanya bisa membayangkan bagaimana?, dimana?, dan
seperti apa para ulama mendalami ilmu Allah hingga dapat menghasilkan puluhan
bahkan ratusan kitab. Kita juga hanya bisa menyimak proses Imam Syafi’i hijrah
ke Mesir hingga mengeluarkan Qaul Jadid yang banyak menghapus Qaul
Qadim nya. Masih hanya bisa mereka- reka, ketika dua ulama besar, Imam
Jalaludin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin As-Suyuthi menggarap kitab Tafsir Jalalain
dalam waktu yang berbeda di Negri para Anbiya.
Tak terhitung juga
ulama Tanah Air yang pernah menikmati segarnya air Nil dikala merantau mengais
ilmu. Terhitung dari ulama kharismatik serta Budayawan KH.Mustofa Bisri (Gus
Mus) , serta Guru Bangsa KH.Abdurrahman Wahid, serta pakar tafsir
Prof.Dr.Quraish Syihab hingga kiyai moderat KH.Abdullah Syukri Zarkasyi,serta
masih banyak lagi ribuan ulama Indonesia yang perannya begitu kuat bagi ummat
Nusantara yang lahir dari Al-Azhar.
Tidak terasa, satu, dua atau bahkan lima tahun
lebih kaki kita sudah berpijak di atas tanah bersejarah ini. Atau satu bulan
kiranya bagi mahasiswa baru. Tanah yang mungkin pernah dilalui Imam Syafi’i
ketika beliau pergi mengajar. Atau mungkin, ketika kita shalat di Masjid Azhar,
tempat sujud kita adalah tempat yang juga pernah dijadikan tempat bermunajat
oleh Imam As-Suyuthi.
Al-Azhar,
dengan berbagai macam barokah nya. Al-Azhar, dengan karomah
ulamanya dan kita sebagai Thalibul ‘Ilmi nya. Menjadikan kita kadang
bertanya tanya. Apa saja yang sudah kita dapat? Sudah benarkah langkah-langkah
kita selama ini dalam menuntut ilmu?
Mungkin akan
sangat sulit sekali untuk bisa menjadi penerus setara kaka kelas kita. Menjadi
seorang Faqih layaknya Imam Bajuri. Atau menjadi seorang Nuhaat layaknya
Imam Sibawaih. Atau setidaknya menjadi pakar tafsir Tanah Air sekelas Prof.Dr.
Qurasih Syihab. Paling tidak, kita bisa mengambil sirah sirah beliau
serta semangat tiada lelah mengarungi lautan ilmu menjadi teladan hidup bagi
kita. Seperti yang dikatakan pepatah Arab
تشبهوا بالرجال ان لم تكونوا مثلهم
× فإن التشبه بالكرام فلاح
Yang menjadi
permasalahanya adalah terkadang kita tidak bisa mengenal diri kita sendiri. Apa
saja kemampuan yang kita miliki. Hal-hal apa saja yang tidak bisa kita lakukan,
serta apa saja yang harus kita lakukan agar apa yang diinginkan bisa tercapai.
Imam Syafi’i
sadar betul, ia tidak akan bisa memasuki ranah keilmuan apapun tanpa menguasai
bahasa Arab denga matang. Ibunya pun mengutusnya ke suku Hudzail di pinggiran kota
Makkah yang dikenal sebagai suku terfasih dalam berbahasa Arab kala itu.
Seperti yang
diungkapkan oleh penulis Amerika,”Orang yang menginginkan impiannya menjadi
kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tidur”. Masalah yang lebih berat lagi,
terkadang kita suka “tertidur” atas diri kita sendiri. Bahkan kita tahu
kemampuan kita, namun kita lebih memilih untuk tetap “tertidur”.
(Allahu A’lam
Bissowab)
Oleh : Abdullah Al-Faqir Mustain Billah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar