Rabu, 03 Februari 2016

Temukan Siapa Dirimu




            Selepas tentara Mongol memporak porandakan kota Baghdad yang saat itu sebagai pusat keilmuan di Wilayah Timur, ditambah jatuhnya Andalus ke tangan kaum Franj, Islam seakan kehilangan pusat peradabannya. Tentara Mongol berencana menghancurkan Mesir. Baru sampai di Palestina, pasukan Dinasti Mamluk berhasil menghentikan mereka dengan dipimin oleh Sulthan Qathz di pertempuran yang terkenal di ‘Ainu Jalut pada tahun 658 H/1260 M. Kejadian itu membuat para ulama dan pencari ilmu mulai berbondong bondong memasuki bumi Kinanah yang merupakan daerah Islam teraman pada masanya dengan Al-Azhar sebagai pusat keilmuanya.
            Banyaknya ulama besar dengan segala macam karyanya membuat Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani kembali ke Mesir pada tahun 786 H setelah beberapa tahun ditunjuk menjadi Imam di Masjidil Haram. Satu persatu kitab kitab mulai ia pelajari dan dihafal. Di Al-Azhar, ia merasakan manisnya menuntut ilmu hingga lahirlah karya besar sekelas Fathul Baari dan Bulughul Maram. Tak lama berselang, datanglah seorang yang tak kalah alim menuntut ilmu kepada Ibnu Hajar pada tahun 841 H, Imam Zakariya Al-Anshari. Dari pemikiran beliau terciptalah karya karya hebat sekelas Manhajut Thullab. Sebelum wafat, banyak murid murid yang datang ke Al-Azhar untuk berguru kepada beliau. Salah satunya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami yang datang ke Al-Azhar pada tahun 924 H. Salah satu karya beliau yang paling dikenal adalah kitab Tuhfatul Muhtaj Syarah Minhaj yang banyak dipakai di pesantren di Indonesia.
            Dua dari tiga pengarang kitab Fiqh termasyhur di Indonesia, Taqrib (Imam Ibnu Syuja’), Fathul Qarib Syarah Taqrib (Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi) serta kitab Hasyiyah Bajuri Syarah Fathul Qarib (Imam Ibrahim Al-Bajuri) banyak menimba ilmu dari Al-Azhar dengan ulama ulama nya. Hanya Imam Ibnu Syuja’ yang bukan jebolan Al-Azhar.
            Jika kita merenung, dulu mungkin kita hanya bisa membayangkan bagaimana?, dimana?, dan seperti apa para ulama mendalami ilmu Allah hingga dapat menghasilkan puluhan bahkan ratusan kitab. Kita juga hanya bisa menyimak proses Imam Syafi’i hijrah ke Mesir hingga mengeluarkan Qaul Jadid yang banyak menghapus Qaul Qadim nya. Masih hanya bisa mereka- reka, ketika dua ulama besar, Imam Jalaludin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin As-Suyuthi menggarap kitab Tafsir Jalalain dalam waktu yang berbeda di Negri para Anbiya.
            Tak terhitung juga ulama Tanah Air yang pernah menikmati segarnya air Nil dikala merantau mengais ilmu. Terhitung dari ulama kharismatik serta Budayawan KH.Mustofa Bisri (Gus Mus) , serta Guru Bangsa KH.Abdurrahman Wahid, serta pakar tafsir Prof.Dr.Quraish Syihab hingga kiyai moderat KH.Abdullah Syukri Zarkasyi,serta masih banyak lagi ribuan ulama Indonesia yang perannya begitu kuat bagi ummat Nusantara yang lahir dari Al-Azhar.
             Tidak terasa, satu, dua atau bahkan lima tahun lebih kaki kita sudah berpijak di atas tanah bersejarah ini. Atau satu bulan kiranya bagi mahasiswa baru. Tanah yang mungkin pernah dilalui Imam Syafi’i ketika beliau pergi mengajar. Atau mungkin, ketika kita shalat di Masjid Azhar, tempat sujud kita adalah tempat yang juga pernah dijadikan tempat bermunajat oleh Imam As-Suyuthi.
Al-Azhar, dengan berbagai macam barokah nya. Al-Azhar, dengan karomah ulamanya dan kita sebagai Thalibul ‘Ilmi nya. Menjadikan kita kadang bertanya tanya. Apa saja yang sudah kita dapat? Sudah benarkah langkah-langkah kita selama ini dalam menuntut ilmu?
Mungkin akan sangat sulit sekali untuk bisa menjadi penerus setara kaka kelas kita. Menjadi seorang Faqih layaknya Imam Bajuri. Atau menjadi seorang Nuhaat layaknya Imam Sibawaih. Atau setidaknya menjadi pakar tafsir Tanah Air sekelas Prof.Dr. Qurasih Syihab. Paling tidak, kita bisa mengambil sirah sirah beliau serta semangat tiada lelah mengarungi lautan ilmu menjadi teladan hidup bagi kita. Seperti yang dikatakan pepatah Arab
تشبهوا بالرجال ان لم تكونوا مثلهم    ×   فإن التشبه بالكرام فلاح
Yang menjadi permasalahanya adalah terkadang kita tidak bisa mengenal diri kita sendiri. Apa saja kemampuan yang kita miliki. Hal-hal apa saja yang tidak bisa kita lakukan, serta apa saja yang harus kita lakukan agar apa yang diinginkan bisa tercapai.
Imam Syafi’i sadar betul, ia tidak akan bisa memasuki ranah keilmuan apapun tanpa menguasai bahasa Arab denga matang. Ibunya pun mengutusnya ke suku Hudzail di pinggiran kota Makkah yang dikenal sebagai suku terfasih dalam berbahasa Arab kala itu.
Seperti yang diungkapkan oleh penulis Amerika,”Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tidur”. Masalah yang lebih berat lagi, terkadang kita suka “tertidur” atas diri kita sendiri. Bahkan kita tahu kemampuan kita, namun kita lebih memilih untuk tetap “tertidur”.   
(Allahu A’lam Bissowab)






Oleh : Abdullah Al-Faqir Mustain Billah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar